Sunday, 8 March 2015

HIPEREMESIS GRAVIDARUM (HEG)

1. Definisi
Hiperemesis gravidarum adalah mual muntah yang berlebihan dalam kehamilan dimana frekuensinya lebih dari 10x per hari, mengganggu keadaan umum, dan mengganggu aktivitas sehari-hari.
Kata kuncinya adalah : mengganggu keadaan umum dan mengganggu aktivitas sehari-hari

2. Etiologi 
a. Peningkatan estrogen
b. Masuknya vili korialis ke dalam sirkulasi maternal
c. Alergi sebagai salah satu respon dari jaringan ibu terhadap anak
d. Faktor psikologi

3. Patofisiologi
Pada awal kehamilan, sinsitio trofoblas akan menghasilkan human corionic gonadotropin hormone ( HcG) –> HCG bertugas mempertahankan korpus luteum untuk menghasilkan progesteron dan estrogen sampai plasenta terbentuk pada usia kehamilan 10-16 minggu –> estrogen yang tinggi akan merangsang pusat muntah di medula oblongata sehingga terjadi EMESIS pada awal kehamilan. Proses ini merupakan hal yang fisiologis terjadi pada ibu hamil. Dengan perjalanan waktu, kadar HCG akan menurun dan rangsangan mual muntah pun hilang yaitu pada 16 minggu usia kehamilan. Namun pada beberapa kasus kehamilan seperti hamil mola hidatidosa, gameli atau kembar, hormon HCG dihasilkan lebih tinggi dan lebih lama sehingga terjadi rangsangan mual muntah yang hebat yang disebut dengan hiperemesis gravidarum. Disamping itu HCG juga bisa disebabkan karena kelainan saluran cerna pada ibu hamil seperti ulkus peptikum dan penyebab lain diluar kehamilan.


4. Gambaran Klinik
gambran dehidrasi : turgor kulit menurun, TD menurun, nadi meningkat, frekuensi nafas meningkat, mata cekung, dsb
Untuk membedakan stadium HEG cukup dengan tingkat kesadaran:
Stadium 1 : kesadaran CMC ( compos mentis cooperation)
Stadium 2 : apatis/cuek
Stadium 3 : koma
Tambahan : HEG pada orang gemuk lebih hebat disebabkan karena hormonal dimana pada orang gemuk lemak tinggi, lemak merupakan prekursor untuk memproduksi hormon steroid, termasuk estrogen –> estrogen yang tinggi akan merangsang pusat muntah.

5. Diagnosa
– amenore, HcG (+), gangguan aktifitas
– Pemeriksaan laboratorium

6. Penatalaksanaan
a. Terapi farmakologi
jika pasien  sudah didiagnosa Hiperemesis Gravidarum maka tindakan pertama adalah perbaiki status dehidrasinya. Cairan yang dipilih adalah RL kemudian beri antiemetik oral atau suppositoria. Anti emetik yang aman untuk ibu hamil : prometazin, klopromazin, ondansetron. Jika mual muntah menetap atau obat dimuntahkan maka indikasi rawat.
Obat rawat inap : infus RL + tiamin (vitamin B1), antiemetik injeksi seperti metoklorpamid atau infus RL + Glukosa+vitamin B1, antiemetik injeksi –> jika kondisi mual muntah remisi maka diperlukan pemberian terapi nutrisi enteral yaitu melalui nasojejuno tube, biasanya dengan jalan pemberian nutrisi enteral maka HEG teratasi. Namun pada beberapa wanita memerlukan terapi parenteral ( TPN)
Jika dengan TTL diatas kondisi HEG tidak teratasi maka pikirkan penyebab lain diluar kehamilan seperti tukak lambung, kolesistitis dan sebagainya.
Berdasarkan buku Obstetri williams dalam beberapa penelitian dikatakan penggunaan kortokosteroid seperti metylprednison lebih efektif dibandingkan antiemetik metoklorpamid, dimana dengan metylprednison angka rekurensi lebih rendah. Namun penggunan kortikosteroid lebih dari 10 minggu pada trimester 1 bisa menyebabkan defek kongenital.
Infus RL bertujuan untuk menggantikan cairan elektrolit yang hilang.
Pemberian vitamin B1 bertujuan untuk mencegah komplikasi HEG yaitu ensefalopati Wernicke. Muntah yang belebihan akan menyebabkan tubuh kehilangan HCL dan elektrolit terutama kalium sehingga pada saat akut tubuh dalam kondisi alkalosis dan hipokalemi –> tubuh akan melakukan kompensasi dengan mengeluarkan ion H+ intra sel untuk mengatasi kondisi alkalosis, disamping itu glukoneogenesis akan terjadi dimana hasil sampingnya adalah asam laktat dan benda keton sehingga pada orang HEG benda keton (+) dan terjadi kondisi asidosis. Muntah yang berlebihan mengakibatkan penyerapan zat makanan terganggu, termasuk penyerapan vitamin, sehingga bisa terjadi defisiensi vitamin, jika terjadi defisiensi vitamin B1 maka akan terjadi ensefalopati wernicke. Ensefalopati wernicke merupakan penyakit neuritis perifer akibat kekurangan vitamin B1. Vitamin B1 berfungsi untuk menghasilkan energi bagi otak dengan membantu oksidasi glukosa sehingga dihasilkan energi untuk sel otak. Dalam penatalaksanaa ada juga dokter yang memberikan glukosa bersamaan dengan vitamin B1.
Warning: jangan memberikan infus dextrose tanpa dibarengi dengan vitamin B1. Infus dextrose 5 % saja akan mengakibatkan hiperosmolaritas sehingga cairan intra sel akan ditarik ke ekstra sel akibatnya terjadi dehidrasi sel otak.
Pasien dipulangkan kalau seandainya keadaan umum membaik dan ada penurunan kadar benda keton.
Drug of choice untuk rawat jalan ( biasanya untuk kasus emesis) : Bit B1, primperan atau ondansetron, ranitidin, luminal
b. Terapi Non Farmakologi
– Dukungan psikologi terutama dari suami dan keluarga
– Acupressure pada lokasi 3 jari diatas siku. Dari penelitian ternyata dengan penekanan dilokasi 3 jari di atas siku pada ibu hamil bisa mengurangi rasa mual muntah, namun pada penelitian berikutnya disimpulkan tidak ada keuntungan acutpressure dalam mengurangi rasa mual muntah.
– Jahe ; dari hasil penelitian mampu mengurangi rasa mual muntah pada ibu hamil

7. Prognosa
Tergantung kausa dan pertolongan segera

8. Rencana
USG untuk mencari kausa.
Pemeriksaan HCG untuk follow up terapi jika penyebab adalah mola hidatidosa

9. Rujukan
HEG merupakan kompetensi level 4 untuk dokter umum, maka tidak ada kasus rujukan untuk HEG kecuali di puskesmas tidak tersedia fasilitas infus dan obat2 an yang diperlukan, tapi tetap alasan rujukan bukan karena HEG tapi karena fasilitas tidak lengkap. Pasien boleh juga dirujuk jika sudah ada kecurigaan ke arah kausa ex : susp mola hidatidosa.
Jika penyebab karena kelainan diluar kehamilan seperti ulkus peptikum maka konsul ke penyakit dalam, pendekatan multidisiplin.
Jika telah terjadi komplikasi ensefalopati wernicke maka konsul ke bagian saraf.

Sumber :
Obstetri William, diskusi BST dengan dr. H. Defrin, SpOG-K
https://madonadewi.wordpress.com

Saturday, 7 February 2015

Menikah Beda Rhesus, Berbahaya Bagi Janin

Menikah Beda Rhesus, Berbahaya Bagi Janin Ayahbunda.co.id
Image by : Dokumentasi Ayahbunda
Beda rhesus darah antara  ibu dengan janin bisa berakibat fatal bagi janin. Sehingga penting untuk mengenal rhesus darah.

Ada tidaknya antigen (karbohidrat dan protein) dalam sel darah kita. Itulah yang membedakan rhesus positif dan rhesus negatif. Disebut positif jika ada antigen dalam darah kita, dan bila tak ada disebut rhesus negatif. Kabar baiknya, orang Indonesia yang termasuk ras Asia, kebanyakan dengan rhesus positif. Di seluruh dunia ini, hanya sedikit orang yang memiliki rhesus negatif, sehingga bila memerlukan donor darah agak sulit. Rhesus negatif umumnya dijumpai pada orang-orang yang mempunyai garis keturunan Kaukasian (berkulit putih).

Menikah beda rhesus. Masalah akan timbul bila Anda memiliki rhesus negatif kemudian menikah dengan pria yang memiliki rhesus positif. Ketidak samaan ini bisa jadi cikal bakal ketidakcocokan rhesus yang sangat berbahaya bagi bayi. Kehadiran janin di tubuh ibu merupakan benda asing, apalagi jika rhesuf janin tidak sama dengan rhesus ibu. Secara alamiah tubuh bereaksi dengan merangsang sel darah merah berupa zat antibodi/antirhesus untuk melindungi tubuh ibu sekaligus melawan ‘benda sing’ tersebut (janin). Inilah yang menimbulkan anti rhesus (penghancuran sel arah merah) atau hemolitik. Kondisi ini dapat menyebabkan kematian janin dlam rahim, atau jika lahir menderita hati yang bengkak, anemia, kuning (jaundice), dan gagal jantung.

Bahaya di Kehamilan Kedua. Perbedaan rhesus antara ibu dan janin tak terlalu berbahaya pada kehamilan pertama. Sebab, kemungkinan terbentuknya zat antirhesus atau antibodi pada kehamilan pertama. Sebab, kemungkinan terbentuknya zat antirhesus atau antibodi pada kelahiran pertama sangat kecil. Kalaupun sampai terbentuk, jumlahnya tidak banyak, sehingga bayi pertama dapat lahir sehat. Pembentukan zat antirhesus baru benar-benar dimulai pada saat proses persalinan (atau keguguran) kehamilan pertama. Saat plasenta lepas, pembuluh-pembuluh darah yang menghubungkan dinding rahim dengan plasenta juga putus. Akibatnya, sel-sel darah merah bayi dapat masuk ke dalam jumlah yang lebih besar. Selanjutnya, 48-72 jam setelah  persalinan atau keguguran, tubuh ibu dirangsang lagi untk memproduksi zat antibodi/antirhesus lebih banyak lagi. Kelak saat ibu mengandung lagi, zat antibodi/antirhesus di tubuh ibu akan menembus plasenta dan menyerang sel darah merah janin.

Produksi antibodi ini sama seperti produksi antibodi pada umumnya bila ada zat asing masuk dalam tubuh. Sekali ada makhluk asing yang sudah dikenali, maka antibodi akanmelindungi ibu agar bila zat asing itu muncul kembali, tubuh ibu dapat menyerang dan menghancurkannya. Proses ini terjadi demi keselamatan ibu sendiri. Namun, kadar antibodi atau antirhesus pada setiap ibu tidak sama. Ada yang rendah, ad ayang tinggi. Yang gawat, bila antibody kadarnya tinggi. Dalam kondisi ini, janin harus dipantau dengan alat ultrasonografi. Dokter akan memanatu masalah pad apernapasan dan peredaran darah, cairan paru-paru, atau pembesaran hati, yang merupakan gejala-gejala penderitaan bayi akibat rendahnya sel darah merah. Kadang-kadang lalu diputuskan persalinan lebih dini, sejauh usia janin sudah cukup kuat untuk dibesarkan di luar rahim.

Yang harus dilakukan:
  1. Periksa kesehatan sebelummenikah. anjuran "klasik" ini sangat berguna untuk kasus-kasus penyait genetik seperti ini. namun bila sebelum menikah And adan pasangan tidak melakukan pemeriksaan kesehatan darah, termasuk rhesus, lakukan segera saat hamil.
  2. Bila rhesus darah Anda beda dengan suami, dokter bisa memberikan tindakan pencegahan terbentuknya zat antirheus dengan obat anti-Rhogama globulin (RhoGAM) atau Rh Immunuglobulin. RhoGAM disuntikkan pad ausia kehamilan 28 minggu dan saat persalinan.
  3. Bila ibu mempunyai rheusu negatif, atau ketidakcocokan golongan daran antara janin dan ibu baru diketahui usia peraslinan, suntikan RhoGAM untuk ibu sebaiknya diberikan dalam waktu maksimal 72 jam setelah persalinan. rhoGAM efektif hanya berlangsung 12 minggu, sehingga setelah lewat masa tersebut Anda harus mendapat suntikan kembali agar kehamilan berikutnya tidak bermasalah.
Peta rhesus janin.


Ayah Rh +
Ayah Rh -
Ibu Rh +
Janin Rh +
Tidak bermasalah
Janian Rh +
Tidak bermasalah.
Ibu Rh -
Janin Rh +
Akan timbul masalah karena beda dengan ibu.
Janin Rh –
Tidak bermasalah.

source : http://www.ayahbunda.co.id

Ikterus dan ASI

Ikterus adalah pewarnaan kuning yang tampak pada sklera dan kulit yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin. Ikterus umumnya mulai tampak pada sklera (bagian putih mata) dan muka, selanjutnya meluas secara sefalokaudal (dari atas ke bawah) ke arah dada, perut dan ekstremitas. Pada bayi baru lahir, ikterus seringkali tidak dapat dilihat pada sklera karena bayi baru lahir umumnya sulit membuka mata.
Ikterus pada bayi baru lahir pada minggu pertama terjadi pada 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan. Hal ini adalah keadaan yang fisiologis. Walaupun demikian, sebagian bayi akan mengalami ikterus yang berat sehingga memerlukan pemeriksaan dan tata laksana yang benar untuk mencegah kesakitan dan kematian.
Seringkali dijumpai ibu yang baru melahirkan menolak memberikan ASI atau meminta agar bayinya diberi tambahan susu formula pada hari-hari pertama, karena kawatir ASI nya tidak cukup dan bayinya akan menjadi kuning. Apakah pendapat tersebut benar?. Oleh karena itu, pada makalah ini akan dibahas tentang penyebab ikterus pada bayi baru lahir, bahaya yang dapat ditimbulkan, dan tata laksananya.

Metabolisme bilirubin
Penumpukan bilirubin merupakan penyebab terjadinya kuning pada bayi baru lahir. Bilirubin adalah hasil pemecahan sel darah merah (SDM). Hemoglobin (Hb) yang berada di dalam SDM akan dipecah menjadi bilirubin. Satu gram Hb akan menghasilkan 34 mg bilirubin.
Bilirubin ini dinamakan bilirubin indirek yang larut dalam lemak dan akan diangkut ke hati terikat oleh albumin. Di dalam hati bilirubin dikonyugasi oleh enzim glukoronid transferase menjadi bilirubin direk yang larut dalam air untuk kemudian disalurkan melalui saluran empedu di dalam dan di luar hati ke usus.
Di dalam usus bilirubin direk ini akan terikat oleh makanan dan dikeluarkan sebagai sterkobilin bersama bersama tinja. Apabila tidak ada makanan di dalam usus, bilirubin direk ini akan diubah oleh enzim di dalam usus yang juga terdapat di dalam air susu ibu (ASI), yaitu beta-glukoronidase menjadi bilirubin indirek yang akan diserap kembali dari dalam usus ke dalam aliran darah. Bilirubin indirek ini akan diikat oleh albumin dan kembali ke dalam hati. Rangkaian ini disebut sirkulus enterohepatik (rantai usus-hati).
 

Ikterus pada neonatus
Peningkatan bilirubin pada neonatus sering terjadi akibat :
  • Selama masa janin, bilirubin diekskresi (dikeluarkan) melalui plasenta ibu, sedangkan  setelah lahir harus diekskresi oleh bayi sendiri dan memerlukan waktu adaptasi selama kurang lebih satu minggu
  • Jumlah sel darah merah lebih banyak pada neonatus
  • Lama hidup sel darah merah pada neonatus lebih singkat dibanding lama hidup sel darah merah pada usia yang lebih tua
  • Jumlah albumin untuk mengikat bilirubin pada bayi prematur (bayi kurang bulan) atau bayi yang mengalami gangguan pertumbuhan intrauterin (dalam kandungan) sedikit.
  • Uptake (ambilan) dan konyugasi (pengikatan) bilirubin oleh hati belum sempurna, terutama pada bayi prematur
  • Sirkulasi enterohepatik meningkat
Derajat Ikterus Neonatorum : Kramer

 

Bahaya penumpukan bilirubin
Bilirubin indirek yang larut dalam lemak bila menembus sawar darah otak akan terikat oleh sel otak yang terdiri terutama dari lemak. Sel otak dapat menjadi rusak, bayi kejang, menderita kernikterus, bahkan menyebabkan kematian. Bila kernikterus dapat dilalui, bayi dapat tumbuh tapi tidak berkembang. Selain bahaya tersebut, bilirubin direk yang  bertumpuk di hati akan merusak sel hati menyebabkan sirosis hepatik (pengerutan hati).
Hiperbilirubinemia (kadar bilirubin tinggi) pada bayi kurang bulan lebih sering terjadi, lebih cepat terlihat, dan berlangsung lebih lama. Kadar bilirubin di dalam darah bayi kurang bulan juga lebih tinggi dibanding bayi cukup bulan (Gambar 5). Hal ini disebabkan oleh sel hati yang masih imatur (belum matang), uptake dan konyugasi bilirubin lambat dan sirkulasi enterohepatik yang meningkat.

Ikterus dan pemberian ASI
Ikterus yang berhubungan dengan pemberian ASI disebabkan oleh peningkatan bilirubin indirek. Ada 2 jenis ikterus yang berhubungan dengan pemberian ASI, yaitu (1) Jenis pertama: ikterus yang timbul dini (hari kedua atau ketiga) dan disebabkan oleh asupan makanan yang kurang karena produksi ASI masih kurang pada hari pertama dan (2) Jenis kedua: ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama, bersifat familial disebabkan oleh zat yang  ada di dalam ASI.

Ikterus dini
Bayi yang mendapat ASI eksklusif dapat mengalami ikterus. Ikterus ini disebabkan oleh produksi ASI yang belum banyak pada hari hari pertama. Bayi mengalami kekurangan asupan makanan sehingga bilirubin direk yang sudah mencapai usus tidak terikat oleh makanan dan tidak dikeluarkan melalui anus bersama makanan. Di dalam usus, bilirubin direk ini diubah menjadi bilirubin indirek yang akan diserap kembali ke dalam darah dan mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik. Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan dan jangan diberi air putih atau air gula. Untuk mengurangi terjadinya ikterus dini perlu tindakan sebagai berikut :
  • bayi dalam waktu 30 menit diletakkan ke dada ibunya selama 30-60 menit
  • posisi dan perlekatan bayi pada payudara harus benar
  • berikan kolostrum karena dapat membantu untuk membersihkan mekonium dengan segera. Mekonium yang mengandung bilirubin tinggi bila tidak segera dikeluarkan, bilirubinnya dapat diabsorbsi kembali sehingga meningkatkan kadar bilirubin dalam darah.
  • bayi disusukan sesuai kemauannya tetapi paling kurang 8 kali sehari.
  • jangan diberikan air putih, air gula atau apapun lainnya sebelum ASI keluar karena akan mengurangi asupan susu.
  • monitor kecukupan produksi ASI dengan melihat buang air kecil bayi paling kurang 6-7 kali sehari dan buang air besar paling kurang 3-4 kali sehari.
Ikterus karena ASI
Iketrus karena ASI pertama kali didiskripsikan pada tahun 1963. Karakteristik ikterus karena ASI adalah kadar bilirubin indirek yang masih meningkat setelah 4-7 hari pertama, berlangsung lebih lama dari ikerus fisiologis yaitu sampai 3-12 minggu dan tidak ada penyebab lainnya yang dapat menyebabkan ikterus. Ikterus karena ASI berhubungan dengan pemberian ASI dari seorang ibu tertentu dan biasanya akan timbul ikterus pada setiap bayi yang disusukannya. Selain itu, ikterus karena ASI juga bergantung kepada kemampuan bayi mengkonjugasi bilirubin indirek (misalnya bayi prematur akan lebih besar kemungkinan terjadi ikterus).
Penyebab ikterus karena ASI belum jelas tetapi ada beberapa faktor yang diperkirakan memegang peran, yaitu :
  • terdapat hasil metabolisme hormon progesteron yaitu pregnane3-α 20 betadiol di dalam ASI yang menghambat uridine diphosphoglucoronic acid (UDPGA)
  • peningkatan konsentrasi asam lemak bebas yang nonesterified yang menghambat fungsi glukoronid transferase di hati
  • peningkatan sirkulasi enterohepatik karena adanya peningkatan aktivitas ß glukoronidase di dalam ASI saat berada dalam usus bayi.
  • defek pada aktivitas uridine diphosphate-glucoronyl transferase (UGT1A1) pada bayi homozigot atau heterozigot untuk varian sindrom Gilbert.
Diagnosis ikterus karena ASI
Semua penyebab ikterus harus disingkirkan. Orangtua dapat ditanyakan apakah anak sebelumnya juga mengalami ikterus. Sekitar 70% bayi baru lahir yang saudara sebelumnya mengalami ikterus karena ASI akan mengalami ikterus pula.
Beratnya ikterus bergantung pada kematangan hati untuk mengkonyugasi kelebihan bilirubin indirek ini. Untuk kepastian diagnosis apalagi bila kadar bilirubin telah mencapai di atas 16 mg/dl selama lebih dari 24 jam adalah dengan memeriksa kadar bilirubin 2 jam setelah menyusu dan kemudian menghentikan pemberian ASI selama 12 jam (tentu bayi mendapat cairan dan kalori dari makanan lain berupa ASI dari donor atau  pengganti ASI dan ibu tetap diperah agar produksi ASI tidak berkurang). Setelah 12 jam kadar bilirubin diperiksa ulang, bila penurunannya lebih dari 2 mg/dl maka diagnosis dapat dipastikan.
Bila kadar bilirubin telah mencapai < 15 mg/dl, maka ASI dapat diberikan kembali. Kadar bilirubin diperiksa ulang untuk melihat apakah ada peningkatan kembali.
Pada sebagian besar kasus penghentian ASI untuk beberapa lama akan memberi kesempatan hati mengkonyugasi bilirubin indirek yang berlebihan tersebut, sehingga apabila ASI diberikan kembali kenaikannya tidak akan banyak dan kemudian berangsur menurun.
Apabila kadar bilirubin tidak turun maka penghentian pemberian ASI dilanjutkan sampai 18-24 jam dengan mengukur kadar bilirubin setiap 6 jam. Apabila kadar bilirubin tetap meningkat setelah penghentian pemberian ASI selama 24 jam maka jelas penyebabnya bukan karena ASI. ASI boleh diberikan kembali sambil mencari penyebab ikterus lainnya.
Masih terdapat kontroversi untuk tetap melanjutkan pemberian ASI atau dihentikan sementara pada keadaan ikterus karena ASI. Biasanya kadar bilirubin akan menurun drastis bila ASI dihentikan sementara (Gambar 6).

Tata laksana 
Pada hiperbilirubinemia, bayi harus tetap diberikan ASI dan jangan diganti dengan air putih atau air gula karena protein susu akan melapisi mukosa usus dan menurunkan penyerapan kembali bilirubin yang tidak terkonyugasi. Pada keadaan tertentu bayi perlu diberikan terapi sinar. Transfusi tukar jarang dilakukan pada ikterus dini atau ikterus karena ASI. Indikasi terapi sinar dan transfusi tukar sesuai dengan tata laksana hiperbilirubinemia.
Yang perlu diperhatikan pada bayi yang mendapat terapi sinar adalah sedapat mungkin ibu tetap menyusui  atau memberikan ASI yang diperah dengan menggunakan cangkir supaya bayi tetap terbangun dan tidak tidur terus. Bila gagal menggunakan cangkir, maka dapat diberikan dengan pipa orogastrik atau nasogastrik, tetapi harus segera dicabut sehingga tidak mengganggu refleks isapnya. Kegiatan menyusui harus sering (1-2 jam sekali) untuk mencegah dehidrasi, kecuali pada bayi kuning yang tidur terus, dapat diberikan ASI tiap 3 jam sekali. Jika ASI tidak cukup maka lebih baik diberikan ASI dan PASI bersama daripada hanya PASI saja.
Ikterus dini yang menetap lebih dari 2 minggu ditemukan pada lebih dari 30% bayi, sehingga memerlukan tata laksana sebagai berikut :
  1. jika pemeriksaan fisik, urin dan feses normal hanya diperlukan observasi saja.
  2. dilakukan skrining hipotiroid
  3. jika menetap sampai 3 minggu, periksa kadar bilirubin urin, bilirubin direk dan total.
Manajemen dan penyimpanan ASI
Pada ikterus dini dan ikterus karena ASI diperlukan manajemen ASI yang benar. Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan tanpa diberikan apa-apa selain ASI. Pemberian ASI eksklusif akan berhasil bila terdapat perlekatan yang erat. Bayi disusui segera setelah lahir, sering menyusui dan memerah ASI.
Perlekatan yang baik bila sebagian besar areola masuk ke mulut bayi, mulut bayi terbuka lebar, dan bibir bawah terputar ke bawah. Pada ikterus karena ASI yang ‘terpaksa’ harus menghentikan ASI untuk sementara, sebaiknya diberikan pengganti ASI dengan tidak menggunakan dot, tapi menggunakan sendok kecil atau cangkir. ASI harus sering diperah dan disimpan dengan tepat terutama pada ibu yang bekerja.  Berikut adalah cara menyimpan ASI yang diperah:
  1. ASI yang telah diperah dan belum diberikan dalam waktu 30 menit, sebaiknya disimpan dalam lemari es.
  2. ASI dapat disimpan selama 2 jam dalam lemari es dengan menggunakan kontainer yang bersih, misalnya plastik
  3. ASI yang diperah harus tetap dingin terutama selama dibawa transportasi.
  4. ASI yang tidak digunakan selama 48 jam, sebaiknya didinginkan di freezer dan dapat disimpan selama 3 bulan.
  5. Sebaiknya diberi label tanggal pada ASI yang diperah, sehingga bila akan digunakan, ASI yang awal disimpan yang digunakan.
  6. Jangan  memanaskan ASI dengan direbus, cukup direndam dalam air hangat. Juga jangan mencairkan ASI beku langsung dengan pemanasan, pindahkan dahulu ke lemari es pendingin agar mencair baru dihangatkan
Dengan manajemen ASI yang benar diharapkan bayi dapat diberikan ASI secara eksklusif sekalipun mengalami ikterus.

Sumber : Buku Bedah ASI IDAI
Penulis : Rulina Suradi dan Debby Letupeirissa